Rabu, 27 Januari 2010

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG
KETENAGAKERJAAN

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat,
dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan
merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hakhak
dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada
saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan
dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan
itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa
kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan
masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan
yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya
manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya
perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan
hubungan industrial.
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan
harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis,
dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia
sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus
diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan tonggak
utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat
kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama
ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada
posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan
sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan
sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan
masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah:

- Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di
Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8);

- Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak
Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);

- Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);

- Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);

- Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);

- Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);

- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undangundang
Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);

- Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598 a);

- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);

- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);

- Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);

- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);

- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);

- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan

- Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).

- Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut
dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih
relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undangundang
ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih
tetap berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan
yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya
era reformasi tahun 1998.
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di
tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour
Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu:

- Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);

- Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);

- Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan

- Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ).

Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat
kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut.
Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang

ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan
pada ketujuh prinsip dasar tersebut.
Undang-undang ini antara lain memuat:

- Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;

- Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;

- Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh;

- Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.

- Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja
secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;

- Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan;

- Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan
untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
antar para pelaku proses produksi;

- Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian
kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit,
pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial;

- Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan,
dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak,
dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan
jaminan sosial tenaga kerja;

- Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundangundangan
di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana
mestinya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenaga-kerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan
manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil
maupun spiritual.

Pasal 3
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan
nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu
antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.

Pasal 4
Huruf a
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang
terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja
Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja
Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun
dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.

Huruf b
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan
daerah.
Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Pasal 5
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan
dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran
politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk
perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.

Pasal 6
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.

Pasal 7
Ayat (1)
Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan
melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan sektoral.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat
pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung
pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral
sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan
produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.

Huruf b
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik
instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan
tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja
yang tinggi pada instansi atau perusahaan yang bersangkutan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud disusunnya
perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau
kabupaten/kota.

Ayat (2)
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup
perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi atau
kabupaten/kota.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan bagi
tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja.
Pasal 10

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan
sektor terkait.

Ayat (3)
Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil, dan ahli.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha
bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi
pekerjanya.
Ayat (2)
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena
perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh.

Ayat (3)
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada
di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja perusahaan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil pelatihan, sarana dan
prasarana pelatihan dapat berdayaguna dan berhasilguna secara optimal.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan
secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar
kompetensi nasional dan/atau internasional.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur
pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga
kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja
nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di
instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor,
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di akhir program.
Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut
pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan.
Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti
tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang
transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan
instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja.
Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan
untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan
pemagangan.

Ayat (3)
Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak
atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 23
Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi oleh
pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang
bersangkutan bila programnya bersifat khusus.

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin
tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru las spesialis dalam air.
Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka kesempatan
bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti teknologi budidaya tanaman dengan kultur jaringan.
Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara,
maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti keahlian
membuat alat-alat pertanian modern.

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara
jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan.
Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan
pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja
dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa
untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan.
Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang
cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan
yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak
kepada kepentingan pihak tertentu.
Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan
berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin,
warna kulit, agama, dan aliran politik.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu
diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah.
Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diundangkan maka
segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga kerja di luar negeri tetap
berlaku.
Pasal 35

Ayat (1)
Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus disusun
kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara optimal. Agar
kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat
bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi.

Pasal 42
Ayat (1)
Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing dimaksudkan
agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara selektif dalam
rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 43
Ayat (1)
Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan persyaratan untuk
mendapatkan izin kerja (IKTA).

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badan-badan
internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang bernaung di bawah
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau UNICEF.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh
tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di
bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 45
Ayat (1)
Huruf ahukumonline.com
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan
atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan
tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga
kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya
diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya.

Huruf b
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan
baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk
berlatih di luar negeri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat
yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan.
Ayat (2)

Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, antarkerja
antardaerah, antarkerja antarnegara, dan perjanjian kerja laut.

Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang
mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja
anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di
perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi
perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab dibidang

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan
yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan
bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau
suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus,
tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu
kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak
termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu tertentu.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 60
Ayat (1)
Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila
perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat
pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat
pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 61
Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau
gangguan keamanan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau
hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan
pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan
mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core
business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman
(security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian
perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan
pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan aksesibilitas,
pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat
kecacatannya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan
bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Ayat (1)
Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk
menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya
tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi
terkait.
Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak
penjual koran.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 76
Ayat (1)
Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Apabila
pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut
adalah pengusaha.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya pekerjaan
di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh,
pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena
pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan
kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang
harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus
bekerja melebihi waktu kerja.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang kompensasi hak
istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar ½ (setengah) bulan gaji dan bagi
perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari
ketentuan undang-undang ini, maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang
sudah ada.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 80
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan
ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai
dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Ayat (1)
Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 83
Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu yang
diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur
dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan
umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak
memungkinkan pekerjaan itu dihentikan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan
keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja,
promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah
bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur
organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber
daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman,
efisien, dan produktif.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah
jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang ine.com
meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi,
dan jaminan hari tua.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 89

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta
pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk
kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih
rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dalam ayat
ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian
perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang besarannya
ditetapkan oleh Menteri.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan
hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang sangat
ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha.

Pasal 90

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu
dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah
minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut
berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang
berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum
yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 91
Cukup jelas

Pasal 92
Ayat (1)
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah
sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi
kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.

Ayat (2)
Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja,
perkembangan, dan kemampuan perusahaan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh,
kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan
bukan karena kesalahannya.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan dokter.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah
melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan perundangundangan.
Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap
negara dilaksanakan apabila:
a. negara tidak melakukan pembayaran; atau
b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh,
dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya.

Huruf e
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah
melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan
peraturan perundang-undangan.

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)e.com
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 94
Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran kepada
pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran
pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.

Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar
lebih dahulu dari pada utang lainnya.

Pasal 96
Cukup jelas

Pasal 97
Cukup jelas

Pasal 98
Cukup jelas

Pasal 99
Cukup jelas

Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga
berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas
olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 101
Ayat (1)e.com
Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah kegiatan yang
bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 102
Cukup jelas

Pasal 103
Cukup jelas

Pasal 104
Ayat (1)
Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 105
Cukup jelas

Pasal 106
Ayat (1)
Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang,
komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan
efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih,
komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 107
Cukup jelas

Pasal 108
Cukup jelas

Pasal 109
Cukup jelas

Pasal 110
Cukup jelas

Pasal 111

Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih
rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 112
Cukup jelas

Pasal 113
Cukup jelas

Pasal 114
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan kepada
setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para pekerja/buruh,
atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh.

Pasal 115
Cukup jelas

Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang berarti
harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang
artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain.

Ayat (3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan
dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku perjanjian
kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 117
Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan
melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 118
Cukup jelas

Pasal 119
Cukup jelas

Pasal 120
Cukup jelas

Pasal 121
Cukup jelas

Pasal 122
Cukup jelas

Pasal 123
Cukup jelas

Pasal 124

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih
rendah dari peraturan perundangan-undangan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 125
Cukup jelas

Pasal 126
Cukup jelas

Pasal 127
Cukup jelas

Pasal 128
Cukup jelas

Pasal 129
Cukup jelas

Pasal 130
Cukup jelas

Pasal 131
Cukup jelas

Pasal 132
Cukup jelas

Pasal 133
Cukup jelas

Pasal 134
Cukup jelas

Pasal 135
Cukup jelas

Pasal 136
Cukup jelas

Pasal 137
Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena
pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu.
Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban
umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau
pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.

Pasal 138
Cukup jelas

Pasal 139
- Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah
rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol
pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut.
- Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang
dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas.

Pasal 140

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung
jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 141
Cukup jelas

Pasal 142
Cukup jelas

Pasal 143
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan cara:
a. menjatuhkan hukuman;
b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
c. melakukan mutasi yang merugikan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 144m
Cukup jelas

Pasal 145
Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha secara
nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh
pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan
pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif.

Pasal 146

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau sebagai
tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka pengusaha
wajib membayar upah pekerja/buruh.

Pasal 147
Cukup jelas

Pasal 148
Cukup jelas

Pasal 149
Cukup jelas

Pasal 150
Cukup jelas

Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang
positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja
antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan
memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 152
Cukup jelas

Pasal 153
Cukup jelas

Pasal 154
Cukup jelas

Pasal 155
Cukup jelas

Pasal 156
Cukup jelas

Pasal 157
Cukup jelas

Pasal 158
Cukup jelas

Pasal 159
Cukup jelas

Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah isteri/suami, anak atau orang
yang sah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama
berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali
pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat
menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama
6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan
peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya
peringatan ketiga.
Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama
sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai
peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.
Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat
pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. Apabila
pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama
dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh
agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini
merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap
kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 162
Cukup jelas

Pasal 163
Cukup jelas

Pasal 164
Cukup jelas

Pasal 165
Cukup jelas

Pasal 166
Cukup jelas

Pasal 167

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Contoh dari ayat ini adalah:
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut
program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam
pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh
pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat
puluh perseratus), maka:
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah: sebesar
60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar
40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- - Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp
10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun
tersebut adalah:
- Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya
60% dibayar oleh pengusaha)
- Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh
pengusaha)
- Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya
40% dibayar oleh pekerja/buruh)
- Jumlah Rp 12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 168
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah
dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat
di perusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan
pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 169
Cukup jelas

Pasal 170
Cukup jelas

Pasal 171
Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk mengajukan
gugatan.

Pasal 172
Cukup jelas

Pasal 173
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang dilakukan
secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk
meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.

Pasal 174
Cukup jelas

Pasal 175
Cukup jelas

Pasal 176
Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas dalam
mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain.

Pasal 177
Cukup jelas

Pasal 178
Cukup jelas

Pasal 179
Cukup jelas

Pasal 180
Cukup jelas

Pasal 181
Cukup jelas

Pasal 182
Cukup jelas

Pasal 183
Cukup jelas

Pasal 184
Cukup jelas

Pasal 185
Cukup jelas

Pasal 186
Cukup jelas

Pasal 187
Cukup jelas

Pasal 188
Cukup jelas

Pasal 189
Cukup jelas

Pasal 190
Cukup jelas

Pasal 191
Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam undang-undang
ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan baik
yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam hal peraturan pelaksanaan belum
dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum undangundang
ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan asas legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang ini.

Pasal 192
Cukup jelas


Pasal 193
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar