Selasa, 01 Desember 2009

Buruh Jabar Minta UU Ketenagakerjaan Tak Direvisi

Senin, 30 November 2009 | 22:07 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com - Buruh di Jawa Barat meminta revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dapat merugikan mereka tidak lakukan. Keinginan itu diharapkan dapat dipenuhi selama masa Kabinet Indonesia Bersatu II .

Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga dan Organisasi Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT Dirgantara Indonesia, M Sidarta di Bandung, Senin (30/11), mengatakan, upah buruh saat ini pun sudah sangat rendah. Buruh yang menerima upah minimum kabupaten/kota tertinggi di Jabar yakni Kota Bekasi sebesar Rp 1,08 juta. Mereka pun masih sulit mencicil rumah yang merupakan kebutuhan pokok.

"Bagaimana mau hidup layak kalau mencukupi kebutuhan dasarnya saja tidak mampu. Apalagi, kalau UU Ketenagakerjaan direvisi," katanya. Jika rekomendasi itu dijalankan, pemerintah dianggap telah menjalankan praktik neoliberalisme.

Sidarta mengatakan, ciri-ciri neoliberalisme yakni, mengurangi peran pemerintah dalam urusan perburuhan, praktik pasar tenaga kerja yang fleksibel (pegawai kontrak), dan cabang-cabang produksi penting negara dikuasai pihak asing.

"Ada pihak yang berpendapat, biaya pemutusan hubungan kerja akan tinggi jika revisi tak dilakukan lalu investor kabur. Saya tak setuju. Biaya buruh masih rendah," katanya.

Faktor lain yang dicemaskan buruh yakni, adanya keinginan untuk mengusulkan pemerintah hanya sebagai pengatur atau regulator. Bila direalisasikan, pemerintah tidak mengintervensi atau melakukan mediasi antara pihak buruh dan pengusaha.

"Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 digerogoti. Peran pemerintah untuk mensejahterakan, melindungi, dan mencerdaskan rakyat jadi berkurang," katanya.

Peran yang harus dilakukan pemerintah itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak adanya mediasi pemerintah juga akan membuat perselisihan buruh dan pengusaha menjadi berlarut-larut. Menurut Sidarta, penggunaan tenaga kontrak saat ini dianggap sudah melenceng dari UU Ketenagakerjaan.

Dalam pasal 56 UU Ketenagakerjaan, tenaga kontrak dijelaskan dengan perjanjian kerja yang berlaku antara lain untuk pegawai musiman, berhubungan dengan produk baru, atau sifatnya sementara. Menurut Sidharta, perjanjian itu tidak dapat diterapkan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar